Menulis di Tengah Krisis: Antara Harapan Meningkatkan Kecerdasan Bangsa dan Fenomena Malas Membaca
Oleh: Sitnah Aisyah Marasabessy
31 Mei 2025
Krisis Industri Buku di Indonesia
Industri perbukuan Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis yang mengkhawatirkan. Data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mencatat bahwa dari 2.721 penerbit yang terdaftar, hanya sekitar 982 yang masih aktif. Artinya, lebih dari 1.700 penerbit telah gulung tikar. Angka ini mencerminkan keruntuhan ekosistem perbukuan—yang mencakup penulis, editor, penerbit, distributor, percetakan, hingga pembaca. (sumber: sastra-indonesia.com, optika.id)
Krisis ini bukan hanya persoalan ekonomi industri, tetapi juga krisis kebudayaan, krisis literasi, dan krisis daya pikir bangsa. Jika buku mati, nalar bangsa ikut terancam.
Tantangan Penulis: Antara Idealisme dan Realita
Penulis di Indonesia—baik akademisi, sastrawan, maupun penulis populer—menghadapi banyak tantangan. Sebagian besar harus merogoh kantong pribadi untuk menerbitkan karya. Royalti sering kali tidak sebanding dengan waktu, tenaga, dan riset yang dicurahkan. Tak sedikit yang patah semangat di tengah jalan.
Lebih parahnya, rendahnya minat baca masyarakat menyebabkan karya-karya berkualitas seringkali tidak sampai ke pembaca. Masyarakat kini lebih tertarik pada konten singkat dan visual—video TikTok, reels Instagram, hingga meme—yang instan namun dangkal. (sumber: Harian Jogja)
Akar Masalah: Mengapa Minat Baca Kita Rendah?
Beberapa penyebab utama rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, antara lain:
-
Budaya Lisan yang Mengakar
Sejak dulu, kita lebih terbiasa menyampaikan pengetahuan secara lisan daripada melalui tulisan. -
Sistem Pendidikan yang Kuratif, Bukan Kreatif
Membaca dipaksakan untuk kebutuhan ujian, bukan ditumbuhkan sebagai budaya cinta ilmu. -
Distraksi Digital
Platform digital yang menyajikan hiburan cepat dan dangkal mengalihkan perhatian dari buku. -
Akses yang Terbatas
Masih banyak sekolah dan daerah terpencil yang tidak memiliki perpustakaan layak. -
Pembajakan Buku
Buku-buku bajakan dijual bebas di marketplace dengan harga miring, merugikan penulis dan penerbit. (sumber: kompas.id)
Solusi: Strategi Kembali Menyalakan Api Literasi
1. Dari Pemerintah: Menjadikan Buku sebagai Infrastruktur Peradaban
-
Subsidi Penerbitan dan Distribusi Buku Berkualitas
-
Mewajibkan pengadaan buku lokal di sekolah dan kampus
-
Meningkatkan peran perpustakaan desa dan sekolah
2. Dari Masyarakat: Menumbuhkan Cinta Buku dari Rumah
-
Jadikan membaca sebagai kegiatan keluarga
-
Menghadiahkan buku untuk ulang tahun anak
-
Menggunakan media sosial untuk mengulas buku (bukan hanya selfie)
Langkah Nyata Dosen dan Penulis: Menulis Sebagai Amal Jariyah Intelektual
Sebagai dosen dan penulis, kita tidak bisa menunggu perubahan dari luar. Kita harus menjadi penggerak perubahan itu sendiri.
✅ A. Beradaptasi dengan Teknologi dan Platform Digital
-
Menulis dan menerbitkan buku digital (e-book)
-
Memanfaatkan media sosial, blog, YouTube, dan podcast untuk memperkenalkan ide dan karya
-
Menerbitkan melalui platform self-publishing (Gramedia Digital, Google Play Book, Amazon Kindle)
✅ B. Kolaborasi Penulisan yang Inklusif
-
Menggandeng dosen lintas kampus, alumni, dan mahasiswa untuk menulis buku ajar, ilmiah populer, hingga antologi
-
Mengadakan kelas menulis dan pelatihan di kampus atau komunitas
✅ C. Menulis Buku yang Relevan dan Membumi
-
Fokus pada topik aplikatif dan kontekstual: ekonomi lokal, budaya daerah, kearifan lokal
-
Menyusun buku berbasis riset dan pengabdian masyarakat, sehingga langsung berdaya guna
✅ D. Menjadikan Kegiatan Menulis sebagai Bagian dari Tridharma
-
Menyusun buku ajar berdasarkan hasil pengajaran dan penelitian
-
Mengintegrasikan penulisan dalam kegiatan pengabdian masyarakat (buku panduan, modul pelatihan)
✅ E. Membangun Komunitas Literasi
-
Mendirikan klub baca dan komunitas literasi di lingkungan kampus dan masyarakat
-
Mengadakan pelatihan menulis, bedah buku, hingga lomba menulis untuk pelajar dan mahasiswa
✅ F. Melawan Pembajakan secara Aktif
-
Edukasi kepada mahasiswa tentang pentingnya hak kekayaan intelektual
-
Memperkuat kerja sama dengan penerbit yang berkomitmen menjaga hak cipta
-
Mendorong literasi digital yang etis dan menghargai karya orisinal
Menulis Sebagai Ibadah Intelektual
Di tengah krisis, menulis bukan hanya bentuk perlawanan, tetapi juga bentuk ibadah intelektual. Seorang penulis, sebagaimana seorang guru, adalah penjaga nalar dan penjaga akal sehat bangsa. Mungkin royalti tidak banyak, mungkin pembaca tidak langsung membludak, tapi setiap kalimat yang menyulut kesadaran adalah sedekah ilmu yang tak ternilai.
Maka menulislah, meski satu dua yang membaca. Karena bangsa ini tidak bisa diselamatkan dengan viralitas, tetapi dengan ilmu yang dibaca, direnungi, dan diamalkan.
Penutup: Harapan di Tengah Awan
Kita boleh pesimis melihat data, tapi harus tetap optimis membangun gerakan. Di tengah krisis perbukuan, justru para dosen, penulis, guru, dan pembaca sejati harus berdiri paling depan. Menulis bukan hanya tugas akademik—tetapi amanah peradaban.
Mari jadikan menulis dan membaca sebagai jalan sunyi yang penuh cahaya. Cahaya untuk diri, cahaya untuk generasi, cahaya untuk negeri.
Salam Literasi,
Sitnah Aisyah Marasabessy
Dosen, Penulis, dan Peminat UMKM

Komentar
Posting Komentar