Tunjangan Kinerja untuk Dosen Non-ASN: Keadilan Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban Negara
Tunjangan Kinerja untuk Dosen Non-ASN: Keadilan Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban Negara
Oleh: Sitnah Aisyah Marasabessy
Beberapa hari terakhir, jagat dosen LLDIKTI ramai memperbincangkan pembukaan akses BKD (Beban Kerja Dosen) untuk empat semester ke belakang. Ini tentu menjadi peluang penting bagi para dosen untuk melaporkan kinerja mereka, terutama bagi yang statusnya Tidak Memenuhi (TM). Namun, diskusi ini juga menyingkap persoalan yang lebih fundamental: ketimpangan perlakuan terhadap dosen Non-ASN dalam hal tunjangan kinerja (Tukin) dan kesejahteraan profesi.
BKD Itu Wajib, Lalu Bagaimana dengan Tukin?
BKD adalah instrumen formal yang mencatat dan menilai kinerja dosen dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Semua dosen—baik ASN maupun Non-ASN—wajib melaporkan BKD jika ingin diakui secara profesional. Namun yang menjadi ironi, ketika tanggung jawabnya sama, mengapa hak dan apresiasinya berbeda?
Jika dosen ASN menerima Tukin karena telah memenuhi beban kinerja dosen, maka dosen Non-ASN pun layak mendapatkan hal yang sama. Apalagi jika status kepegawaiannya tidak memengaruhi kewajiban profesinya sebagai dosen. Dalam semangat Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, dan berdasarkan prinsip keadilan dalam ketenagakerjaan menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui menjadi UU Cipta Kerja, negara berkewajiban menjamin kesejahteraan setiap pekerja profesional tanpa diskriminasi.
Logika ULP dan Kewajiban Berkantor
Dalam kasus ULP (Uang Lauk Pauk), banyak institusi menerapkan kewajiban berkantor setiap hari sebagai prasyarat pemberian tunjangan tersebut kepada dosen ASN. Tapi bagaimana dengan dosen Non-ASN? Jika mereka juga diwajibkan berkantor penuh, padahal tidak ada dana ULP maupun Tukin dari yayasan, maka ini adalah praktik ketidakadilan yang sistematis.
Logika terbaliknya sederhana:
Jika tidak ada anggaran untuk tunjangan, maka tidak ada kewajiban tambahan di luar Tri Dharma.
Dengan kata lain, absen harian atau kewajiban "ngantor" tidak bisa diberlakukan tanpa imbalan tunjangan kinerja yang adil. Apalagi jika beban kerja mereka tetap diukur berdasarkan Tri Dharma dan dilaporkan ke sistem nasional.
LLDIKTI dan Tanggung Jawab Pengawasan
LLDIKTI sebagai lembaga yang mengawasi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak hanya berperan sebagai fasilitator administratif. LLDIKTI memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan kesejahteraan dosen, termasuk dosen yayasan.
Dalam praktiknya, masih banyak PTS yang mewajibkan dosen Non-ASN untuk patuh pada berbagai aturan tambahan seperti absen manual, WFO penuh, bahkan tugas administratif, tanpa diimbangi upah sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi). Padahal menurut Pasal 88E Undang-Undang Cipta Kerja, pengusaha wajib memberikan penghasilan tidak kurang dari UMP kepada setiap pekerja.
#NonASNHarusDapatTukin: Seruan untuk Kesetaraan
Sudah saatnya kita menyuarakan keadilan ini:
-
#NonASNHarusDapatTukin
-
#NonASNTidakWajibNgantorSetiapHari
-
#YangWajibItuTriDharma
Tagar ini bukan sekadar bentuk protes, tetapi seruan untuk penegakan martabat profesi dosen. Tidak boleh ada lagi pembedaan perlakuan hanya karena status kepegawaian. Yang menjadi dasar pemberian tunjangan dan penghargaan adalah kinerja profesional sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat.
Penutup
Dosen adalah profesi intelektual yang menjadi fondasi pembangunan bangsa. Oleh karena itu, perlakuan yang adil terhadap seluruh dosen—baik ASN maupun Non-ASN—bukan lagi isu pilihan, tapi kewajiban konstitusional negara. Mari bersama-sama mendorong LLDIKTI, Kementerian, dan yayasan penyelenggara PTS untuk membangun sistem yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kualitas pendidikan tinggi Indonesia.
•••••••
Bagi PT/dosen yg BKD nya masih TM, dimohon untuk bisa mengisi dan meminta untuk dinilai.
Bagi PT/dosen yg belum terbuka periode BKD nya, bisa wa pribadi ke bt.
Terima kasih
[20/6 20.49] +62 813-4316-7763: Pa Mirza, mohon info. pembukaan ini hny untuk yg TM saja atau bisa jg untuk dosen non serdos yg kmrin blom smpat lapor ??
[20/6 21.00] Agung K H: Waduh, akang punya bukti sebagian besar su hilang Pak. Kalau wajib tetap disi sepertinya perlu pertimbangan utk diperhatikan Tukin bagi dosen non PNS ๐ฑ๐ฑ๐ฑ๐๐๐
[21/6 00.44] Sitnah Aisyah Marasabessy: Bukan lagi dipertimbangkan pak. Malah semestinya dosen non pns juga dapat tukin, sebab aturan beban kinerja dosen sama, masa rewardnya diperbedakan. Kalau dosen asn dapat tukin karena kinerja mereka sebagai dosen, maka dosen non asn juga harus dapat tukin. Itu kewajiban negara. Yg dilihat di sini bukan status ASN-NON ASN nya tetapi PROFESI dosennya.
[21/6 00.45] Sitnah Aisyah Marasabessy: #NonASNHarusDapatTukin
[21/6 01.03] Sitnah Aisyah Marasabessy: Dalam hal ULP misalnya, dosen ASN wajib berkantor setiap hari kerja makanya dapat ULP. Dosen non ASN KALAU wajib berkantor juga, maka mereka juga harus dapat ULP. Logika terbaliknya, karena tidak ada anggaran untuk ULP dari pemberi SK alias yayasan, maka dosen non ASN tidak wajib berkantor setiap hari kerja.
Ini perlu jadi perhatian bagi pihak LLDIKTI sebagai Lembaga Layanan PTS, agar membantu mengawasi para penyelenggara PTS di bawah naungannya terutama menyangkut masalah KESEJAHTERAAN dosen, baik yang ASN maupun NON ASN. LLDIKTI selayaknya turut memantau agar para penyelenggara PTS ini jangan selalu mem-BULLY dosen² yayasan dengan aturan² yang tidak wajib seperti absen berkantor, tetapi malah tidak menggaji dosen²nya sesuai aturan Upah Minimum Pokok-UMP.
[21/6 01.05] Sitnah Aisyah Marasabessy: #NonASNTidakWajibzNgantorSetiapHari
#YangWajibItuTriDharma
Komentar
Posting Komentar